ANALISIS KEBERADAAN
GENG MOTOR SEBAGAI BENTUK DARI PATOLOGI SOSIAL MENGGUNAKAN PENDEKATAN
TEORI-TEORI KRIMINOLOGI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
1. Teori
kriminologi terhadap keberadaan geng motor.
A. Pendapat Para Ahli Mengenai Kenakalan Remaja Atau Juvenile Delinquency
A. Pendapat Para Ahli Mengenai Kenakalan Remaja Atau Juvenile Delinquency
·
Kartini Kartono menyatakan bahwa; Geng delinquen
banyak tumbuh dan berkembang di kota-kota besar dan bertanggung jawab atas
banyaknya kejahatan dalam bentuk: pencurian, perusakan milik orang lain, dengan
sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa serta moralitas yang
konvensional, melakukan tindak kekerasan, meneror lingkungan dan lain-lain.
·
Wagiati Soetedjo mengemukanan pendapat mengenai
kenakalan anak bahwa: hal tersebut cenderung dikatakan sebagai kenakalan anak
dari pada kejahatan anak terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan
tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah prose
salami yang tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan masa menjelang
kedewasaannya.
·
Sofyan S. Willis, “kenakalan remaja itu adalah
disebabkan kegagalan mereka dalam memperoleh penghargaan dari masyarakat di
mana anak dan remaja itu tinggal. Penghargaan yang diharapkan remaja itu ialah
dalam bentuk tugas dan tanggung jawab seperti orang dewasa. Mereka menuntut
suatu peranan sebagaimana yang dilakukan orang dewasa.
·
Fuad Hassan, “secara sosiologis kenakalan remaja
ialah kelakuan atau perbuatan anti social dan anti normative”
·
Kusumanto: “juvenile Deliquency” atau kenakalan
remaja ialah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan
pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan
atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan,”
·
Paul Moedikno memberikan perumusan mengenai
Juvenile Delinquency, yaitu sebagai berikut:
o Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa
merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency,. Jadi semua
tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh
dan sebagainya.
o Semua perbuatan penyelewengan dari norma
kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai
celana jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.
o Semua
perbutan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi social, termasuk gelandangan,
pengemis dan lain-lain.
·
Maud A. Merril, merumuskan Juvenile Delinquency
sebagai berikut: “ A child is classified as a delinquent when social tendencies
appear to be so grave thet has become or ought tobecome the subject of official
action”. Bahwa seorang anak digolongkan anak Delinquency apabila tampak adanya
kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang
berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti
menahannya atau mengasingkannya.
·
Tim proyek Juvenile Delinquency Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Desember 1967 memberikan perumusan mengenai Juvenile
Delinquency sebagai berikut, bahwa suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan
serta ditafsiran sebagai perbuatan yang tercela.
·
Andie Mappiare, mengemukakan pengertian sebagai
berikut: yang disebut kenakalan remaja atau Jevenile delinquency yaitu
pembagain karena tidak tahu terhadap peraturan yang ada, menimbulkan
pelanggaran-pelanggaran tersebut. Keadaan agresif yang mengalami tingkah laku
bermasalah.
·
M. Gold dan J. Petronio memberikan definisi
tentang penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak (Juvenile
Delinquency) yaitu sebagai berikut, kenakalan anak adalah tindakan oleh
seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui
oleh anak itu sendiri bahwa perbuatannya itu diketahui oleh petugas hukum ia
bisa dikenai hukuman.
·
Kesimpulan Yesmil Anwar dan Adang, dari beberapa
definisi kenakalan remaja diatas dalam bukunya yang bejudul Kriminologi adalah
tindak perbuatan para remaja yang bertentangan dengan hukum, agama dan
norma-norma masyarakat sehingga akibatnya dapat merugikan orang lain,
mengganggu ketentraman umum dan juga merusak dirinya sendiri.
Beliau juga membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis :
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
Beliau juga membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis :
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
B. Teori-Teori
Kriminologi Hukum Klasik Hingga Kontemporer
1) Membuka
pintu Teori kriminologi
Menurut williams III dan Marilyn McShane teori kriminologi diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Menurut williams III dan Marilyn McShane teori kriminologi diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Teori
abstrak atau teori-teori makro (macrotheories). Pada asasnya, teori-teori dalam
klasifikasi ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur
masyarakat. Termasuk ke daalam macrotheories ini adalah teori Anomie dan teori
konflik
b. Teori-teori mikro (microtheori). Teori ini
ingin menjawab mengapa seorang/kelompok orang masyarakat melakukan kejahatan
atau menjadi kriminal (etiology criminal). Termasuk teori ini adalah Social
Control Theory dan Social Learning Theory.
c. Beidging
theory yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro/mikro dan
mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseoarang menjadi jahat.
Termasuk dalam teori ini subculture theory dan social learning Theory.
2) Frank
P. William III dan Marilyn McShane mengklasifikasi berbagai teori kriminologi
menjadi tiga bagian lagi, yaitu:
a) Teori klasik dan teori positivis, asasnya
teori klasik membahas legal statutes, struktur pemerintahan dan HAM. Teori
Positivis terfokus pada patologi kriminal, penanggulangan dan perbaikan prilaku
kriminal individu.
b) Teori struktural dan Teori Proses. Teori
struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari
tingkah laku. Teori struktural lazim disebut Strain theori. Teori proses ,
membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.
c) Konsensus
dan Teori Konflik, teori konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam
masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai
bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik
mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat
sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan.
3) Klasifikasi
teori kriminologi dari John Hagan
a) Teori-teori
under control atau teori-teori untuk mengatasi prilaku jahat seperti teori
disorganisasi sosial, teori netralisasi dan teori kontrol sosial
b) Teori-teori
kultur, status dan oppurtunity, menekankan mengapa adanya sebagaian kecil orang
menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat di mana mereka tinggal/hidup
c) Teori
Over Control yang terdiri dari teori labelling, teori Konflik, Kleompok dan
teori Marxis.
1. Teori Differential Association.
Orang yang pertama memperkenalkannya adalah Sutherland. Ia memperkenalkan dalam dua versi, yaitu pada tahun 1939 dan kemudian tahun 1947. Ia berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial, artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Oleh karena itu, perbedaan tingkah laku yang confor, dengan criminal adalah apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari. (Frank P William dan Marilyn D.McShane, 1998:48)
Versi kedua dari teori ini yang dikemukakan pada tahun 1947 terdapat pada edisi keempat, menegaskan bahwa, “ semua tingkah laku itu dipelajari” dan ia mengganti pengertian istilah “social disorganization” dengan “differential social organization” versi ini menegaskan sembilan pernyataan sebagai berikut:
(1) Tingkah laku kriminal dipelajari
(2) Tingkah laku kkriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
(3) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.
(4) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar
(5) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai.
(6) Seseorang menjadi ‘deliquent’ karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya.
(7) Asosiasi differensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi
(8) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti-kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar
(9) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena tingkah laku non-kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
Orang yang pertama memperkenalkannya adalah Sutherland. Ia memperkenalkan dalam dua versi, yaitu pada tahun 1939 dan kemudian tahun 1947. Ia berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial, artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Oleh karena itu, perbedaan tingkah laku yang confor, dengan criminal adalah apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari. (Frank P William dan Marilyn D.McShane, 1998:48)
Versi kedua dari teori ini yang dikemukakan pada tahun 1947 terdapat pada edisi keempat, menegaskan bahwa, “ semua tingkah laku itu dipelajari” dan ia mengganti pengertian istilah “social disorganization” dengan “differential social organization” versi ini menegaskan sembilan pernyataan sebagai berikut:
(1) Tingkah laku kriminal dipelajari
(2) Tingkah laku kkriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
(3) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.
(4) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar
(5) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai.
(6) Seseorang menjadi ‘deliquent’ karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya.
(7) Asosiasi differensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi
(8) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti-kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar
(9) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena tingkah laku non-kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2. Teori Anomie
Teori ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ‘a’: ‘ tanpa’, dan ‘nomos’: ‘hukum’ atau ‘peraturan’.
Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab penyimpangan, dimana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagain besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, semetara orang atau kelompok lainya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada kelompok lainnya.
Pendapat Bapak Yesmil Anwar dan Adang mengenai anomie, “anomie adalah suatu keadaan, dimana dalam suatu masyarakat, tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi frustasi; terjadinya konflik; adanya ketidakpuasan sesama individu, maka semakin dekat dengan kondisi hancur-berantakan yang tidak didasarkan kepada norma yang berlaku, inilah a-nomie”
Teori ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ‘a’: ‘ tanpa’, dan ‘nomos’: ‘hukum’ atau ‘peraturan’.
Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab penyimpangan, dimana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagain besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, semetara orang atau kelompok lainya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada kelompok lainnya.
Pendapat Bapak Yesmil Anwar dan Adang mengenai anomie, “anomie adalah suatu keadaan, dimana dalam suatu masyarakat, tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi frustasi; terjadinya konflik; adanya ketidakpuasan sesama individu, maka semakin dekat dengan kondisi hancur-berantakan yang tidak didasarkan kepada norma yang berlaku, inilah a-nomie”
3. Teori Kontrol Sosial
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delikuensu dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial.
Teori kontrol sosial menunjuk pada pembahasan delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis: antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendemikian pendekatna teori kontrol-sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delikuensu dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial.
Teori kontrol sosial menunjuk pada pembahasan delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis: antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendemikian pendekatna teori kontrol-sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.
·
Durkheim (1895), “ A society will always have a
certain number of deviance and that devience is really a normal phenomenon”
·
Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu
Personal Control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan
diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang
berlaku di masyarakat.Social control atau kontrol eksternal adalah kemampuan
kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan
norma-norma atau peraturan menjadi efektif.
·
Walter Reckless (1961) dengan bantuan Simon
Dinitz, mengemikakan teori containment theory. Teori ini menjelaskan bahwa
kenakalan remaja merupakan hasil akibat dari irrelasi antara dua bentuk
kontrol, yaitu kontrol eksternal atau social control dan kontrol internal atau
internal control.
·
Hirschi, kemudian menjelaskan bahwa social bonds
meliputi empat unsur, yaitu sebagai berikut:
- Attachment, keterikatan seseorang pada orang lain (orangtua) atau lembaga (sekolah) dapat mencegah atau menghambat yang bersangkutan melakukan kejahatan.
- Involvement, frekuensi kegiatan seseorang akan memperkicil kecenderungan yang bersangkutan untuk terlibat dalam kejahatan.
- Commitment, investasi seseorang dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk: pendidikan, reputasi yang baik, kemajuan dalam bidang wiraswasta, dan
- Belief, unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat.
- Attachment, keterikatan seseorang pada orang lain (orangtua) atau lembaga (sekolah) dapat mencegah atau menghambat yang bersangkutan melakukan kejahatan.
- Involvement, frekuensi kegiatan seseorang akan memperkicil kecenderungan yang bersangkutan untuk terlibat dalam kejahatan.
- Commitment, investasi seseorang dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk: pendidikan, reputasi yang baik, kemajuan dalam bidang wiraswasta, dan
- Belief, unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat.
4. Teori
Labelling
Teori labelling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan, metode yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort” atau melakukan interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkat/tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan labelling, terfokuskan pada dua tema, pertama; menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, kedua; pengaruh atau efek dari label tersebut, sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.
Frank tannembaum (1938) kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil dari kekurangmampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompok, akan tetapi dalam kenyataannya, ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Dengan demikian, menurut Tannembaum, kejahatan merupakan hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang kebih luas, dimana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku yang layak. Dua macam pendekatan labelling:
Teori labelling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan, metode yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort” atau melakukan interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkat/tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan labelling, terfokuskan pada dua tema, pertama; menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, kedua; pengaruh atau efek dari label tersebut, sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.
Frank tannembaum (1938) kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil dari kekurangmampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompok, akan tetapi dalam kenyataannya, ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Dengan demikian, menurut Tannembaum, kejahatan merupakan hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang kebih luas, dimana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku yang layak. Dua macam pendekatan labelling:
a) Persoalan
tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label?
Persoalan labelling ini, memperlakukan labelling sebagai dependent variabel atau variabel yang tidak bebas dan keberadaannya memerlukan penjelasan. Labelling dalam arti ini adalah labelling sebagai akibat dari reaksi masyarakat.
Persoalan labelling ini, memperlakukan labelling sebagai dependent variabel atau variabel yang tidak bebas dan keberadaannya memerlukan penjelasan. Labelling dalam arti ini adalah labelling sebagai akibat dari reaksi masyarakat.
b) Efek
labelling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.
Persoalan ini memperlakukan labelling sebagai variabel yang independent atau variabel bebas/mempengaruhi. Dua proses mempengaruhi seseorang tersebut adalah, pertama; diberikan oleh pengamat yang kemudian seterusnya cap/label itu melekat pada diri orang itu, kedua; label atau cap tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan membawa pengaruh pada dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaimana cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat.
Persoalan ini memperlakukan labelling sebagai variabel yang independent atau variabel bebas/mempengaruhi. Dua proses mempengaruhi seseorang tersebut adalah, pertama; diberikan oleh pengamat yang kemudian seterusnya cap/label itu melekat pada diri orang itu, kedua; label atau cap tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan membawa pengaruh pada dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaimana cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat.
5. Teori Interaksionisme Simbolik
Blummer mengutarakan tentang tiga prinsip utama dari teori ini, yaitu pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep diri seseorang dan sosialisasinya kepada komunitas yang lebih besar, masyarakat.
Teori interaksinisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “ proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus-respon, melainkan stimulus – proses berpikir- respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respons, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Blummer mengutarakan tentang tiga prinsip utama dari teori ini, yaitu pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep diri seseorang dan sosialisasinya kepada komunitas yang lebih besar, masyarakat.
Teori interaksinisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “ proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus-respon, melainkan stimulus – proses berpikir- respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respons, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
6. Teori Subkultur
Pada dasarnya, teori subculture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika.
Dua teori subkultur
a. Teori delinquent sub-culture. Dikemukakan oleh Albert K. Cohen, berusaha memecahkan masalah bagaimana kenakalan sub-culture dimulai dengan menggabungkan perspektif Teori Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay, Teori differential Association dari Edwin H. Sutherland dan Teori Anomie. Konklusi dari peningkatan prilaku delikuen di daerah kumuh dikalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika.
b. Teori differential oppurtunity (perbedaan kesempatan). Berorientasi membahas penyimpangan di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut merupakan fungsi perbedaan kesempatan yang dimiliki anak-anak untuk mencapai tujuan legal maupun illegal.
Pada dasarnya, teori subculture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika.
Dua teori subkultur
a. Teori delinquent sub-culture. Dikemukakan oleh Albert K. Cohen, berusaha memecahkan masalah bagaimana kenakalan sub-culture dimulai dengan menggabungkan perspektif Teori Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay, Teori differential Association dari Edwin H. Sutherland dan Teori Anomie. Konklusi dari peningkatan prilaku delikuen di daerah kumuh dikalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika.
b. Teori differential oppurtunity (perbedaan kesempatan). Berorientasi membahas penyimpangan di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut merupakan fungsi perbedaan kesempatan yang dimiliki anak-anak untuk mencapai tujuan legal maupun illegal.
7. Teori Konflik
Dikemukakan oleh Marx berasal dari kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh.
Adanya pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.
Konflik dapat terjadi pada tingkatan individual dapat juga terjadi pada tingkat lembaga.
Dikemukakan oleh Marx berasal dari kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh.
Adanya pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.
Konflik dapat terjadi pada tingkatan individual dapat juga terjadi pada tingkat lembaga.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Geng Motor : Hak Atau Pelanggaran Undang-Undang?
Geng motor, secara substansi merupakan perkumpulan orang-orang. Kebebasan untuk berkumpul merupakan salah satu hak yang diakui dalam Undang-undang dasar 1945 amandemen ke-IV, yaitu pasal 28E ayat 3, yang menyebutkan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai warga negara Indonesia berhak untuk berserikat, membentuk perkumpulan dan mengeluarkan pendapatnya. Setiap ada hak tentu ada kewajiban. Ada peraturan yang membatasi prilaku dari perserikatan atau perkumpulan tersebut. Dalam KUHP pasal 510 dan pasal 511, berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 510 KUHP
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa ijin kepala polisi atau pegawai negeri lain yang ditunjuk untuk itu:
a. Mengadakan pesta atau keramaian untuk umum
b. Mengadakan arak-arakan di jalan umum
(2) Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.
2. Pasal 511 KUHP
Barang siapa di waktu ada pesta arak-arakan dan sebagainya, tidak menaati perintah dan petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas di jalan umum, diancam dengan pidana paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Walaupun semua orang berhak untuk berkumpul (geng motor) namun hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
B. Pendekatan Teori Kriminologi Terhadap Keberadaan Geng Motor
1. Teori kontrol sosial
Dalam bukunya Bapak Yesmil, dalam menjelaskan kenakalan remaja yang berupa geng motor, beliau mengaitkannya dengan teori Kontrol sosial dengan mengangkat pendapat dari Romli Atmasasmita bahwa: pengertian teori kontrol sosial atau control theory merujuk kepada pembahasan delikuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok yang dominan.
Dengan demikian, pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya. Pemunculan teori kontrol sosial ini diakibatkan tiga ragam perkembangan kriminologi. Ketiga ragam perkembangan yang dimaksud yaitu: pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labelling dan konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku kriminal. Kriminologi konserfatif ( sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai kriminologi baru atau new criminology dan hendak kembali kepada subjek semula, yaitu: penjahat. Kedua, munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu baru yang telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan beroreintasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self report survey.
Pendapat Reiss, yang dikutip oleh Romli, bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan anak/remaja diantaranya yaitu:
1) kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak
2) hilangnya kontrol tersebut
3) tidak adanya norma-norma sosial atau konflik dimaksud (di sekolah, orang tua, atau lingkungan dekat)
2. Teori Anomie
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya teori anomie adalah suatu keadaan, dimana dalam suatu masyarakat, tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi frustasi; terjadinya konflik; adanya ketidakpuasan sesama individu, maka semakin dekat dengan kondisi hancur-berantakan yang tidak didasarkan kepada norma yang berlaku.
Dalam pandangan saya, yang menjadi titik penting dari teori ini adalah tidak adanya kesempatan dan perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Sebagai orang yang juga pernah mengalami masa-masa SMP dan SMA, penulis juga merasakan bahwa adanya tekanan untuk menjadi tenar dikalangan anak-anak lainnya. Keadaan yang menghendaki diri kita dihargai oleh orang lain dan dianggap berarti dan penting.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Diantara banyak cara tersebut adalah cara-cara yang ditempuh oleh anggota geng motor tersebut. Mereka menganggap dengan menjadi anggota geng motor, mereka ingin menambah teman, ingin merasa aman, ingin disebut gaul, dan mudah mendapatkan perempuan.
Dengan pendekatan Teori anomie ini, kita dapat tahu bahwa cara-cara untuk mencapai tujuan dari anggota geng motor tersebut, adalah cara-cara yang tidak tepat.
3. Teori Labelling
Menurut hemat saya, teori labelling disini berperan setelah munculnya cap/label pada geng motor itu sendiri. Hal ini juga berdampak pada klub-klub motor lainnya yang ada di kota Bandung. Susahnya mengidentifikasi mana geng motor yang meresahkan warga dan mana yang tidak, seringkali membuat warga sudah berprasangka tidak baik lebih dulu, walhasil seringkali kumpul-kumpul geng motor selalu dianggap sesuatu yang bisa mengancam.
Cap/label juga sampai kepada klub-klub motor yang baru akan dibentuk. Pada umumnya klub motor-klub motor tersebut terdaftar di kepolisian (dalam arti medapat izin dari pihak kepolisian). Namun karena aksi-aksi geng motor belakangan ini membuat pihak kepolisian tidak lagi memberikan izin terhadap pendirian klub motor.
Faktor penyebab dan upaya penanggulangan geng motor
Menurut Kartini Kartono, motif yang mendorong anak remaja melakukan tindak kejahatan dan kedursilaan yang dalam hal ini adalah kejahatan yang dilakukan geng motor di antaranya:
1. Untuk
memuaskan kecenderungan keserakahan
2. Meningkatkan
agresivitas dan dorongan seksual
3. Salah
asuh dan salah didik orangtua, sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya
4. Hasrat
unutk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan unutk meniru-niru
5. Kecenderungan
pembawaan yang patologis atau tidak normal
6. Konflik
batin sendiri, dan kemudian mengunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan
diri yang irrasional.
Upaya Preventif yang dilakukan oleh kepolisian
1. Mengadakan
operasi terhadap kendaraan bermotor setiap malam minggu di daerah-daerah yang
dianggap rawan kejahatan geng motor
2. Melakukan
patroli setiap malam
3. Memberikan
penyuluhan terhadap anank-anak SMA dengan mengirimkan perwakilan dari pihak
kepolisian untuk menjadi pembina upacara di SMA yang ada di kota-kota Bandung
secara bergantian
Upaya represif yaitu dengan melakukan penindakan
terhadap anggota geng motor yang melakukan tindak pidana, baik itu tindak
pidana dalam bentuk kejahatan maupun tindak pidana dalam bentuk pelanggaran
berat.
Pada akhir tahun 2011 yang lalu pihak kepolisian untuk wilayah Bandung, Kabupaten Bandung dan sekitarnya melakukan terobosan baru dalam menangani geng motor tersebut, yaitu dengan tidak akan memberikan Surat Ketengan Catatan Kepolisian (SKCK) dan pembubaran paksa Geng Motor.
Tanggapan terhadap solusi baru yang dilakukan oleh pihak kepolisian
1. Tanggapan terhadap Tidak memberikan SKCK
Sebagaimana yang keterangan yang disampaikan Kapolres Ajun Komisaris Besar Hendro Pandowo, didampingi Kasatreskrim Ajun Komisaris Agung Masloman (15/11) bahwa” sebagai efek jera, kami tidak akan pernah mengeluarkan SKCK kepada setiap anggota geng motor. Tanpa SKCK mereka akan kesulitan dalam proses mencari kerja atau meneruskan sekolah,”.
Menanggapi sanksi yang diberikan oleh pihak kepolisian tersebut, Zaky Yamani dalam tajuk Wacana, “Memahami Geng Motor (2)”, mengkhawatirkan kebijakan instan dari Mapolrestabes Bandung yang mencantumkan status anggota geng motor di SKCK mereka. Kita semua tahu SKCK dibutuhkan sebagai syarat melamar kerja. Mungkin kebijakan itu tujuannya untuk menakuti remaja yang berniat masuk geng motor atau memberi efek jera kepada anggota geng motor. Akan tetapi, kebijakan itu bisa menciptakan bom waktu yang akan meledak dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun mendatang. Jika anggota geng motor sudah memasuku usia dewasa dan status di SKCK mereka membuat mereka kesulitan mendapatkan oekerjaan yang layak, patut dikhawatirkan jika mereka akan lebih jauh terjebak di dalam dunia kriminal.
Maka dari itu saya berpendapat bahwa tindakan tidak memberikan SKCK tersebut perlu ditinjau ulang kembali.
2. Tanggapan terhadap pembubaran paksa geng motor
Dalam berita yang dilansir dari bandung.detik.com, bahwa pada tanggal 30 Desember 2011 dengan dihadiri lebih dari 1500 orang hadih dalam kegiatan “Deklarasi Pembubaran Geng Motor”, di Lapangan Tegallega. Deklarasi pembubaran ini diikui oleh geng motor GBR, XTC, Brigez dan Moorakers. Mereka membacakan pernyataan sebagai berikut:
1. Kami bersama komponen masyarakat lainnya ikut berpastisipasi membantu tugas aparat keamanan menjauhi diri dari kegiatan berandalan bermotor dalam rangka menjaga dan mewujudkan Kota Bandung yang aman dan kondusif
2. Kami akan membubarkan diri sebagai geng motor dan mengubah imej dari komunitas dengan kegiatan neegatif menjadi komunitas dengan kegiatan yang positif. Serta ikut memberantas kejahatan bermotor yang ada di kelompok kami
3. Kami siap mendukung dan mewujudkan 7 agenda pembangunan Kota Bandung dan 5 gerajan lingkungan hidup menuju Kota Bandung sebagai kota jasa bermatabat.
4. Kami siap ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku jika ada di antara kami yang melakukan tindak pidana dan pelanggaran hukum lainnya.
Dalam tajuk Opini, Jum’at, 6 januari 2011, pada harian umum Pikiran Rakyat, Agus Salim Mansyur menyampaikan pendapatnya, “dengan seremonial pembubaran sejumlah kelompok berandal bermotor dari mulai tingkat kabupaten/kota sampai provinsi, bukan jaminan mereka untuk tidak berulah lagi. Kebanyakan anggota berandal bermotor adalah remaja-remaja yang energik, aktif, dan penuh vitalitas. Selama ini, mereka berulah dengan melakukan tindakan kekerasan hanya sebagai pelarian delam kerangka akutualisasi diri; menyalurkan energi. Oleh karena itu, pascapembubaran harus ada upaya pembinaan yang nyata untuk menyalurkan energi mereka pada kegiatan yang positif. Janji gubernur, wali kota, bupati, dan sejumlah pejabat lainnya harus segera direalisasikan.”
Saya sepakat dengan pendapat bapak Agus diatas akan penting tindakan pascapembubaran tersebut. Jangan sampai berhenti sampai disitu saja. Pembinaan-pembinaan yang dilakukan ke sekolah-sekolah harus tetap giat dan rutin dilakukan. Kemudian juga penyaluran minat dan bakat yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Misalnya bagi mereka yang suka balap liar, mungkin bisa diagendakan “road race” tiap bulannya, yang bernuansa kompetitif, yang kemudian mudah-mudahan dapat berprestasi di bidangnya.
Pada akhir tahun 2011 yang lalu pihak kepolisian untuk wilayah Bandung, Kabupaten Bandung dan sekitarnya melakukan terobosan baru dalam menangani geng motor tersebut, yaitu dengan tidak akan memberikan Surat Ketengan Catatan Kepolisian (SKCK) dan pembubaran paksa Geng Motor.
Tanggapan terhadap solusi baru yang dilakukan oleh pihak kepolisian
1. Tanggapan terhadap Tidak memberikan SKCK
Sebagaimana yang keterangan yang disampaikan Kapolres Ajun Komisaris Besar Hendro Pandowo, didampingi Kasatreskrim Ajun Komisaris Agung Masloman (15/11) bahwa” sebagai efek jera, kami tidak akan pernah mengeluarkan SKCK kepada setiap anggota geng motor. Tanpa SKCK mereka akan kesulitan dalam proses mencari kerja atau meneruskan sekolah,”.
Menanggapi sanksi yang diberikan oleh pihak kepolisian tersebut, Zaky Yamani dalam tajuk Wacana, “Memahami Geng Motor (2)”, mengkhawatirkan kebijakan instan dari Mapolrestabes Bandung yang mencantumkan status anggota geng motor di SKCK mereka. Kita semua tahu SKCK dibutuhkan sebagai syarat melamar kerja. Mungkin kebijakan itu tujuannya untuk menakuti remaja yang berniat masuk geng motor atau memberi efek jera kepada anggota geng motor. Akan tetapi, kebijakan itu bisa menciptakan bom waktu yang akan meledak dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun mendatang. Jika anggota geng motor sudah memasuku usia dewasa dan status di SKCK mereka membuat mereka kesulitan mendapatkan oekerjaan yang layak, patut dikhawatirkan jika mereka akan lebih jauh terjebak di dalam dunia kriminal.
Maka dari itu saya berpendapat bahwa tindakan tidak memberikan SKCK tersebut perlu ditinjau ulang kembali.
2. Tanggapan terhadap pembubaran paksa geng motor
Dalam berita yang dilansir dari bandung.detik.com, bahwa pada tanggal 30 Desember 2011 dengan dihadiri lebih dari 1500 orang hadih dalam kegiatan “Deklarasi Pembubaran Geng Motor”, di Lapangan Tegallega. Deklarasi pembubaran ini diikui oleh geng motor GBR, XTC, Brigez dan Moorakers. Mereka membacakan pernyataan sebagai berikut:
1. Kami bersama komponen masyarakat lainnya ikut berpastisipasi membantu tugas aparat keamanan menjauhi diri dari kegiatan berandalan bermotor dalam rangka menjaga dan mewujudkan Kota Bandung yang aman dan kondusif
2. Kami akan membubarkan diri sebagai geng motor dan mengubah imej dari komunitas dengan kegiatan neegatif menjadi komunitas dengan kegiatan yang positif. Serta ikut memberantas kejahatan bermotor yang ada di kelompok kami
3. Kami siap mendukung dan mewujudkan 7 agenda pembangunan Kota Bandung dan 5 gerajan lingkungan hidup menuju Kota Bandung sebagai kota jasa bermatabat.
4. Kami siap ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku jika ada di antara kami yang melakukan tindak pidana dan pelanggaran hukum lainnya.
Dalam tajuk Opini, Jum’at, 6 januari 2011, pada harian umum Pikiran Rakyat, Agus Salim Mansyur menyampaikan pendapatnya, “dengan seremonial pembubaran sejumlah kelompok berandal bermotor dari mulai tingkat kabupaten/kota sampai provinsi, bukan jaminan mereka untuk tidak berulah lagi. Kebanyakan anggota berandal bermotor adalah remaja-remaja yang energik, aktif, dan penuh vitalitas. Selama ini, mereka berulah dengan melakukan tindakan kekerasan hanya sebagai pelarian delam kerangka akutualisasi diri; menyalurkan energi. Oleh karena itu, pascapembubaran harus ada upaya pembinaan yang nyata untuk menyalurkan energi mereka pada kegiatan yang positif. Janji gubernur, wali kota, bupati, dan sejumlah pejabat lainnya harus segera direalisasikan.”
Saya sepakat dengan pendapat bapak Agus diatas akan penting tindakan pascapembubaran tersebut. Jangan sampai berhenti sampai disitu saja. Pembinaan-pembinaan yang dilakukan ke sekolah-sekolah harus tetap giat dan rutin dilakukan. Kemudian juga penyaluran minat dan bakat yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Misalnya bagi mereka yang suka balap liar, mungkin bisa diagendakan “road race” tiap bulannya, yang bernuansa kompetitif, yang kemudian mudah-mudahan dapat berprestasi di bidangnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Perilaku geng motor merupakan salah satu contoh kenalakan remaja (Juvenile Delinquency)
2. Jika dikaitkan dengan teori-teori kriminologi, maka geng motor, dapat dijelaskan dengan teori control sosial, teori anomie dan teori labelling
3. Solusi untuk tidak memberikan SKCK merupakan sanksi yang kurang tepat
4. Pembubaran terhadap geng motor harus diikuti upaya lain untuk menyalurkan minat dan bakat para remaja tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi, 2010, Refika Aditama, Bandung
Anwar, Yesmil. Saat Menuai Kejahatan, 2009, Refika Aditama, Bandung.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung
Simandjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, 1981, Tarsito, Bandung.
Mansyur, Agus Salim, Setelah Geng Dibubarkan, Jum’at, 6 April 2011, pada Harian Umum Pikiran Rakyat
Adolescence
and youth
(4th ed).
New York: Harper CollinsDeaux, K.,F.C,and Wrightman,L.S. (1993).
Social
psychology in the ‘90s
(6th ed.).
California : Brooks / Cole PublishingCompany.Herbert,
Martin. (2005).
Developmental
Problems of Childhood and Adolescents: Prevention, Treatment and Training
. USA:BPS
Blackwell.Hurlock, E. B. (1990).
Developmental
psychology: a lifespan approach
. Boston:
McGraw-Hill.Hurlock, E. B. (1973).
Adolescent
development.
Tokyo:
McGraw-Hill Kogakusha.Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D.
(2001).
Human
development
(8th ed.).
Boston: McGraw-HillRice, F.P. (1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar