Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi
Negara
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA
NEGARA DALAM PENYELESAIAN SUATU SENGKETA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Disusun guna memenuhi persyaratan
menempuh
Uji Kompetensi Dasar (UKD) 3
oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fungsi negara adalah fungsi
administratif, yaitu untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan oleh karena itu negara
wajib untuk menciptakan suatu sistem administrasi negara, yang berfungsi
mengatur hubungan negara dengan publik. Dalam paradigma negara sebagai “Penjaga
Malam”, maka fungsi administratif ini lebih ditekankan kepada pengaturan
keamanan saja, dan bukan kepada hal-hal yang bersifat privat. Sedangkan pada
paradigma negara sebagai kesejahteraan atau “Welfare
State” maka muncullah adanya fungsi negara selain dari fungsi reguler yaitu
fungsi pembangunan (developing function)[1]
dimana negara dituntut melaksanakan segala upaya yang terencana dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan melalui fungsi pembangunan ini. Negara mendapatkan
porsi yang semakin besar dalam kewenangan untuk masuk ke dalam kehidupan
rakyat, tidak hanya dalam bidang publik tetapi juga dalam bidang-bidang privat.
Negara ikut mengatur hal-hal yang seharusnya diurus oleh warganya secara
individuil, hal itu seperti masuknya negara dalam pengaturan perkawinan,
keluarga berencana, transaksi di bidang pertanahan, bahkan pada
lapangan-lapangan bisnis sekalipun. Konsentrasi dari fungsi yuridis atas maka
muncul pula konsep negara dalam bidang hukum disebut Rule
of Law, salah satu hal pokok dalam Rule of Law ini adalah segala tindakan
negara harus didasarkan kepada hukum, hal ini seperti yang dikemukakan oleh AV
Dicey. Akibat adanya pemahaman negara hukum dengan bersendikan kepada konsepsi Rule
of Law tersebut, para penganut pandangan yang sempit maka hukum diartikan
sebagai undang-undang (wet) dan demikian setiap gerakan negara
harus didasarkan kepada undang-undang yang ada, pemerintah tidak boleh
melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan peraturan (UU) yang ada.
Obyek
kajian hukum administrasi adalah pemerintahan (bestuur). Lingkungan kekuasaan
pemerintahan adalah lingkungan kekuasaan negara di luar kekuasaan legislatif
dan yudikatif. Dengan landasan negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan hendaknya memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat
sebagai yang diperintah dan dengan landasan demokrasi, masyarakat pun berperan
serta secara aktif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dengan konsep
dasar tersebut dipaparkan berbagai instrumen pemerintahan seperti : keputusan
tata usaha negara (beschikking), rencana (het
plan), peraturan kebijaksanaan (beleidsregels), perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst), tindakan nyata (feitelijk
handeling), dan sanksi-sanksi dalam hukum administrasi. Seringkali intrumen
pemerintahan tersebut di atas, menimbulkan sengketa bagi warga masyarakat yang
notabene merupakan obyek dari perlindungan suatu hukum administrasi negara.
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan bagian mutlak hukum adminstrasi.[2]
Oleh karena hal tersebut, kami bermaksud membuat makalah yang membahas tentang PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA NEGARA
DALAM PENYELESAIAN SUATU SENGKETA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami
bahas, adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap warga
negara dalam penyelesaian suatu sengketa hukum administrasi negara di lingkup kekuasaan
kehakiman ?
2.
Bagaimanakah proses penyelesaian suatu sengketa hukum administrasi negara dalam ranah
peradilan yang mewujudkan perlindungan hukum terhadap warga negara ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perlindungan
Hukum Terhadap Warga Negara dalam Penyelesaian Suatu Sengketa Hukum
Administrasi Negara di Lingkup Kekuasaan Kehakiman
Sebagai
pelaksanaan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman juga diatur adanya 4 (empat) lingkungan peradilan. Masing-masing
lingkungan peradilan mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu yang juga
meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang
semuanya berpuncak pada satu, Mahkamah Agung.
Sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, lingkungan peradilan itu
meliputi :
a.
Peradilan umum;
b.
Perdilan agama;
c.
Peradilan militer;
d.
Peradilan tata usaha negara.
Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan
kehakiman, dalam konteks negara Indonesia adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam
kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh :
a.
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Perubahan UUD 1945 yang membawa
perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat
perlunya dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Untuk itulah, dibentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur
mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas
penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama
bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Undang Undang Nomor 4
Tahun 2004 sudah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
kekuasaan Kehakiman.
Adapun skema dari kekuasaan
kehakiman itu sendiri, dapat digambarkan sebagai berikut :
PERADILAN UMUM
|
PERADILAN AGAMA
PERADILAN MILITER
PERADILAN TUN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM BIDANG
ADMINISTRASI
Adanya potensi terjadinya kerugian di pihak masyarakat karena gerak,
tugas serta fungsi
pemerintah, maka dirasa perlu untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
di bidang hukum administrasi negara, yakni menurut Philipus Hadjon, perlindungan
tersebut dapat berbentuk kedalam 2 segi yaitu :
1. Secara Preventif
2. Secara Represif
Menurut pendapat Hadjon lebih lanjut, perlindungan preventif terhadap masyarakat
dalam bidang hukum,dapat meliputi pemberian hak bagi masyarakat untuk
mendapatkan akses informasi yang memadai, serta jamin-an prosedur administrasi
yang standard/baku dalam proses-proses pelayanan di bidang administrasi.
Di Indonesia sendiri untuk masalah pengaturan hak
mendapatkan informasi serta jaminan mendapatkan layanan administrasi yang
sesuai pro-sedur standard, tidak diatur dalam satu peraturan yang menyatu dalam
satu kodifikasi tetapi terpecah-pecah dalam berbagai peraturan. Semisal adalah
prosedur administrasi untuk mendapatkan hak patent, hak atas merek,Hak Cipta,
dalam peraturan-peraturan yang mengatur tentang HaKI dapat di-ketahui berapa
waktu yang dibutuhkan untuk proses mendapatkannya serta syarat-syarat
administrasi yang harus dipenuhi.
Sementara untuk perlindungan masyarakat terhadap
tindakan pemerintah melalui jalur Represif, Hadjon memberi contoh perlindungan
kepada masyarakat melalui prosedur peradilan, baik peradilan umum mau-pun
peradilan yang khusus menangani perkara administrasi atau tata usaha negara.
Perlindungan represif ini ditujukan baik terhadap perbuatan negara/ pemerintah
dalam lapangan hukum publik maupun dalam lapangan hukum perdata.
2. Proses Penyelesaian Suatu Sengketa Hukum Administrasi Negara dalam Ranah
Peradilan Yang Mewujudkan Perlindungan Hukum Terhadap Warga Negara
Untuk penanganan mengenai perlindungan kepada
masyarakat dalam hukum publik khususnya dalam lapangan hukum administrasi
negara, maka pada negara-negara yang menganut common law system, yaitu negara-negara anglo saxon penanganan perkara administrasi tidak dilakukan oleh
sebuah peradilan khusus, tetapi ditangani oleh peradilan umum atau “ordinary court” sementara di beberapa
negara yang menganut civil law system
menggunakan peradilan yang terpisah atau mandiri. Di Indonesia sendiri telah
didirikan peradilan administrasi yang bersifat mandiri yaitu PTUN yang berdiri
berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peratun.
Dalam
perkembangan negara hukum moderen maka upaya hukum di bidang administrasi
sebagai penyelesaian sengketa tata usaha negara antara warga negara dengan
pejabat tata usaha negara, dalam kepustaka-an ilmu hukum administrasi dikenal
adanya 3 (tiga) jalur penyelesaian yaitu:
a. pengajuan keberatan
b. banding administrasi (administratie beroep)
c. peradilan administrasi (administratief rechtspraak)
Pengajuan
keberatan dan banding administrasi menurut Rochmat Soemitro merupakan upaya
administrasi, hal ini berbeda dengan peradilan administrasi. Menurutnya suatu
upaya adminitrasi harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:
a)
Ada
suatu perselisihan yang diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata,
sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan tertulis atau karene tidak
dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan sedang hal tersebut merupakan
wewenang badan/ pejabat administrasi tersebut;
b)
Penyelesaian
perselisihan atau sengketa dilakukan di lingkungan pemerintah sendiri, baik
melalui prosedur keberatan maupun melalui banding administratif;
c)
Adanya
hukum, terutama di lingkungan Hukum Administrasi Negara.
d)
Minimal
dua pihak dan salah satu pihak adalah badan/pejabat administrasi;
e)
Adanya
hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechts-toepassing)
in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum material.
Sementara khusus untuk pengajuan keberatan
administrasi menurut Rochmat Soemitro harus ada unsur-unsur berikut ini:
a)
Yang
memutus perkara dalam beroep adalah instansi yang hierarkhi lebih tinggi atau
instansi lain daripada yang memberikan putusan pertama.
b)
Tidak
saja meneliti doelmatigheid, tetapi
berwenang juga meneliti rechtsmatigheidnya.
c)
Dapat
mengganti, merubah atau meniadakan keputusan administrasi yang pertama.
d)
Juga
dapat memperhatikan perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya
keputusan, bahkan juga dapat memperhatikan perubahan yang terjadi selama
prosedur berjalan;
Dalam
perkataan lain maka pengajuan keberatan merupakan upaya hukum non litigasi
artinya dilakukan di luar jalur peradilan, upaya ini dilakukan dengan cara
yustisiabel atau pencari keadilan mengajukan keberatan atas diterbitkannya atau
tidak diterbitkannya suatu produk tata usaha negara yang berbentuk ketetapan,
kepada intansi penerbit keputusan tersebut atau atasannya. Pengajuan keberatan
ini bisa diajukan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang secara
hirarkhi lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan badan atau pejabat tata
usaha negara yang sedang bersengketa dengan yustisiabel. Sebagai contoh adalah
pola pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai negeri Sipil
khususnya Pasal Pasal 15 sebagai berikut:
(1) Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi
salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
tidak dapat mengajukan keberatan.
(2) Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi
salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 3 dan
ayat (4) ,dapat mengajukan keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang
menghukum dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai tanggal ia
menerhima keputusan hukuman disiplin tersebut. Upaya hukum selain pengajuan
keberatan adalah upaya Banding administrasi, pada prinsipnya banding
administrasi tersebut juga merupakan upaya hukum non litigasi atau merupakan
upaya diluar jalur peradilan. Upaya ini agak berbeda dengan jalur keberatan di
atas, sebab pada jalur ini penyelesaian sengketa sudah tidak pada instansi itu
lagi tetapi sudah ditangani satu badan pemerintah yang khusus menangani
sengketa tata usaha negara tersebut. Sebagai contoh adalah penyelesaian
sengketa perburuhan yang ditangani oleh P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah) maupun P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat).
Baik penyelesaian melalui pengajuan
keberatan maupun banding ad-ministrasi masih disebut sebagai upaya administrasi
dan bukan upaya per-adilan. Pada upaya administrasi ini terdapat hal-hal yang
secara prinsip berbeda dengan penyelesaian di peradilan administrasi. Perbedaan
yang rinsip antara kedua jenis pnyelesaian tersebut itu adalah:
PERADILAN ADMINISTRATIF
Ditangani
oleh lembaga Peradilan dan dilakukan dihadapan Majelis Hakim pemeriksa dan
Pemutus Perkara. Pada upaya administrasi maka penyelesaian sengketa meliputi
bidang - bidang yang berkaitan tidak hanya masalah hukum (wetmatig) nya saja
tetapi penanganan secara leng-kap meliputi pula masalah kebijakan-bijakan Pada
upaya administrasi proses penanganan dilakukan oleh instansi itu sendiri atau
satu badan yang secara khusus dibentuk pemerintah untuk menangani kasus
sengketa Tata usaha Negara tersebut. Pada upaya penyelesaian sengketa yang
dilakukan melalui upaya peradilan maka penyelesaian sengketa hanya melihat satu
aspek saja yaitu aspek hukumnya saja (wetmatig)
sehingga aspek kebijakan atau doelmatig
/rechtmatig tidak di periksa. Pada Upaya administrasi maka penilaian atas
perkara dilakukan lengkap tidak hanya kepada masalah ketentuan hukumnya (wetmatig)-nya saja tetapi juga meliputi
pe-nilaian terhadap kebijakan (doelmatig/
recht-matig) nya juga
Menurut
Rochmat Soemitro merumuskan unsur (element) peradilan sebagai berikut :
a.
Adanya
suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada
suatu persoalan;
b.
Adanya
suatu perselisihan hukum yang konkret;
c.
Ada
sekurang-kurangnya dua pihak;
d.
Adanya
suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
Sementara Unsur-unsur peradilan Administrasi
menurut Marbun dan Syachran Basah :
a.
Adanya
suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada
suatu persoalan.Aturan hukum tersebut menurut Syachran Basah terletak di
lingkungan hukum administrasi negara, karena pangkal sengeketa berkaitan dengan
unsur (b) yaitu “adanya sengketa hukum yang konkret”;
b.
Adanya
suatu perselisihan hukum yang konkret;
Sementara menurut
Indroharto ciri dasar dari proses di muka peradilan administrasi sebagai berikut:
1.
Dalam proses peradilan TUN itu selalu tersangkut baik kepentingan umum maupun
kepentingan perorangan;
2.
Dalam Peradilan administrasi masing-masing unsur pokok yakni:
-Para Hakim dan staf kepaniteraan
-Para Hakim dan staf kepaniteraan
-Para pencari keadilan
-Instansi
resmi dan masyarakat akan berinteraksi dalam proses PERATUN
3.
Tujuan dari gugatan PERATUN adalah selalu untuk memperoleh putusan hakim yang
menyatakan keputusan yang digugat itu tidak sah atau batal.
4.
Dalam proses peradilan administrasi terdapat keseragaman dan kesederhanaan.
5.
Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan adalah contradictoir dengan
unsur-unsur yang bersifat inquisitoir.
6.
Dalam Peradilan administrasi bahwa selama suatu keputusan TUN itu tidak
digugat, maka ia selalu dianggap menurut hukum.
7.
Asas pembuktian bebas yang terbatas.
8.
Pemeriksaan singkat akan sering.
Unsur-unsur peradilan di
atas menurut penulis masih perlu untuk disempurnakan, pertama karena tidak
jelas mana yang unsur dan mana yang ciri peradilan administrasi, Kedua, andaipun
terdapat kesulitan untuk membedakan antara unsur dan ciri khas peradilan
administrasi, maka unsur peradilan administrasi di atas belum menggambarkan
ciri pembeda antara peradilan administrasi dengan peradilan lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam peradilan
administrasi dibandingkan dengan peradilan umum dan perlu ditambahkan sebagai
pembeda dari peradilan administrasi, dan sekaligus sebagai unsur dalam
peradilan administrasi adalah adanya sanksi administrasi serta pola
penegakannya yang khusus.
Dalam sistem peradilan
Pidana dan perdata maka sanksi yang dijatuhkan juga khusus yaitu sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan untuk sanksi perdata meliputi sanksi
pembayaran ganti rugi dan melaksanakan prestasi tertentu, pelaksanaannya
ataupun penegakannya dilakukan dengan menggunakan cara atau metoda yang khsus
pula. Dalam penegakan sanksi pidana maka dilakukan dengan upaya paksa seperti
dengan melakukan penahanan dsb, sementara penegakan sanksi perdata dilakukan
dengan melakukan sita eksekusi, sita jaminan dan lelang. Demikian juga dengan
Peradilan administrasi, maka juga mempunyai ciri khas pula, pada yaitu sanksi
administrasi yang sifatnya tunggal yaitu batalnya keputusan yang
dipersengketakan dan dapat diikuti dengan kewajiban gantirugi dan rehabilitasi sedangkan
pelaksanaan atau penegakan sanksi nya juga khas karena tidak ada upaya
paksanya. Adanya bentuk sanksi serta pola penanganan penegakan sanksi
administrasi pada Peradilan Administrasi yang khas tersebut tentunya dapat
dianggap sebagai ciri pembeda dari Peradilan administrasi, dan sekalugus
sebagai unsur-unsur dari peradilan administrasi.
Dari sudut perkaranya,
maka kompetensi peradilan administrasi jelas beda dengan peradilan lainnya,
artinya peradilan administrasi negara hanya menangani perkara di bidang
hubungan publik antara negara/pemerintah dengan warganya, sementara
masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan keperdataan antara pemerintah
dan warganya diatur sesuai dengan ketentuan peradilan perdata biasa. Dengan
demikian pendapat Marbun dan Syachran Basah perihal materi perkara perlu dan
dapat ditambahkan bahwa peradilan administrasi negara hanya menangani perkara
administrasi di bidang hukum publik saja, dan tidak menangani perkara
administrasi negara yang berkaitan dengan hukum perdata, sebab sudah menjadi
kompetensi peradilan umum.
DAFTAR
PUSTAKA
Indroharto. Usaha Memahami UU tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Jakarta: Sinar Harapan.
Marbun. 2003. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif
di Indonesia.
Jogyakarta: UII Press.
Muchsan. 1981. Beberapa Catatan tentang Hukum
Administrasi negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Jogyakarta: Liberty.
Muchsan. Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia. Jogyakarta: Liberty.
Philipus Hadjon dkk. 1994. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.
Jogyakarta: Gadjahmada Press.
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia.
Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ridwan. 2003. Hukum Administrasi Negara. Jogyakarta: UII Press.
Rochmat Soemitro. 1977. Naskah Singkat tentang peradilan
administrasi di Indonesia. Paper. BPHN-BINACIPTA.bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar